WEWENANG INSPEKTORAT PENGAWASAN DAERAH POLDA DALAM PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI TENGAH AUTHOR INSPECTORATE AUTHORITORS FOR PREVENTION OF CRIMINAL ACTIONS IN CORRUPTION IN REGIONAL SUPPORT CENTRAL SULAWESI
Amir Hamzah
This study aims to find out and analyze the authority of the Central Sulawesi Regional Police Supervisory Inspectorate (Itwasda), with the aim of knowing and analyzing the prevention of Corruption Crimes. The type and type of this research is normative juridical by conducting literature searches, and police regulations related to the authority of the Regional Supervision Inspectorate (Itwasda) in supervision and inspection. Republic of Indonesia National Police Chief Regulation Number 22 of 2010 concerning Police Organizational Structure and Work Procedures at the Regional Level (Polda) which is the main reference in answering the problems of Supervision and Inspection in the work area of the Central Sulawesi Regional Police. The results of the discussion that based on Perkap 22 of 2010 there is no mention that the Regional Supervision Inspectorate (Itwasda) is a Work Unit that serves to prevent corruption, but in the implementation of activities other than the assistant leader of the Regional Supervision Inspectorate (Itwasda) has the main task of Supervision and Examination in the fields of Operations, Human Resources (HR), Infrastructure and Statements. The activity was carried out in two phases: the first and the second stages, the first stage included aspects of planning and organizing, stage two included aspects of implementation and control. The results of the implementation and inspection will be reported to the Leader for the next
WEWENANG INSPEKTORAT PENGAWASAN DAERAH POLDA DALAM PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KEPOLISIAN DAERAH SULAWESI TENGAH
Nurlaelah Nurlaelah
How is the action of immigration toward the wrong offender using the residence permit for foreign people in the area of Imigration Office Class IA Palu. The purpose of reseach to know an of thed to analyze the supervision of residence permit for foreign people in the area of Imigration Office Class IA Palu. To know and to analyze the action of immigration toward the wrong offender using the residence permit for foreign people in the area of Imigration Office class IA Palu. The result of the research showed that the supervision implementation of residence permit for foreign people in the area of immigration office class I A Palu has been done of legal regulation. The supervision of resident permit for foreign people is done in administrative way since the foreign people for the Visa to visit and come to Indonesia through international airport and field supervision to evaluate the valid residence permit of the foreign people. The action administrative immigration is appropriate to be used, because tells act is more affectife than projustitia action incase of an other problem, it will projustitia action.
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEPABEANAN TERHADAP PAKAIAN BEKAS (BALLPRESS)/CAKAR DI WILAYAH PALU SULAWESI TENGAH
Force Hanker
The problem studied were the law enforcementof the customs of used secondhand clothesat the office Supervision and Customs Service of Madya Pabean C Type Pantoloan and the obstaclesin criminal law enforcement for the circulation of secondhand clothes that affected the society of Palu. This research was empirical legal research that used primary dan secondary data is then presented in the form of inductive thinking patterns, namely the specific things to general things. The results of the research find that the office Supervision and Customs Service Of Madya Pabean C Type Pantoloan had carried out several law enforcement on the crime of secondhand clothes covering preventive and repressive law enforcement. Preventive law enforcement such as carrying out observation of importers data, distributing brochures about the dangers of secondhand clothes, collaborating with related parties that are the health Office and industry and trade service, and patrolling parts in the working area. Depressive law enforcement such as arresting the perpetrators of customs offens, confiscation of evidence in the form of secondhand clothes and destruction of secondhand clothes. Obstacles faced by customs in making legal efforts to the crime of secondhand clothes namely the limitation of ships in conducting patrols, lack of human resource that are not in accordance with the extensive of working area, weak legislation, law enforcement officers, society are interested in used clothing and proof because they have to present key witnesses.
PEMBERIAN WASIAT WAJIBAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 16 K/AG/2010)
Moh. Sukran R Labone
Kematian seseorang sering berakibat timbulnya sengketa dikalangan ahli waris mengenai harta peninggalannya. Hal seperti ini sangat mungkin terjadi, bilamana pihak-pihak terkait tidak konsisten dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan. Perbedaan agama sangat memungkinkan terjadinya sengketa waris, sebab dalam Islam dan mayoritas ulama telah mengambil suatu pendapat, bahwa ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris tidak bisa mendapatkan harta waris (terhalang), tetapi dalam Putusan Mahkama Agung Nomor: 16K/AG/2010 di mana hakim pengadilan Mahkama Agung meberikan sebagaian harta peninggalan kepada nonmuslim melalui wasiat wajibah. Hal ini berbeda dengan para ulama ahli tafsir, hadits, dan fiqih islam dimana orang yang berbeda agama tidak dapat mewarisi harta dari sipewaris yang beragama islam dan juga dalam KHI Wasiat Wajibah hanya diberikan kepada Anak angkat dan orang tua angkat saja. sehingga menimbulkan permasalahan, yaitu : Bagaimanakah Akibat Hukum Atas Putusan Mahkamah Agung Nomor: 16K/AG/2010 Terhadap Perkawinan Beda Agama dan Bagaimanakah Implementasi Wasiat Wajibah dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 16K/AG/2010 yang Memperluas Makna Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum yuridis normatif atau hukum dotrinal. Kesimpulan hasil penelitian yaitu Putusan Hakim Mahkama Agung dalam pemberian harta peniggalan melalui wasiat wajibah terhadap ahli waris non muslim terlalu mempertimbangakan asas legalitas, kemanusiaan dan kesejahtraan sosial. Namun, pertimbangan tersebut bertetentangan dengan hakikat dan tujuan hukum syara dan Dilihat dari teori maqashid al-syari’ah dan mashlahah klausul materi mengenai ketentuan wasiat wajibah bagi ahli waris beda agama jelas bertentangan dengan norma ideal hukum islam.
EKSISTENSI PRODUK MULTI LEVEL MARKETING DENGAN SKEMA PIRAMIDA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
Arliyanda Arliyanda
The problem of this research was criteria for MLM products with pyramid schemes and legal view in Indonesia for MLM products with pyramid schemes. This research was normative legal research that used primary and secondary legal material which then legal materials are analyzed qualitatively normatively by interpreting and constructing the statements contained in documents and legislation. The results of the discussion find out that good and healthy of MLM is in accordance with the Minister of Trade Regulation Republic of Indonesia Number: 13/M-Dag/Per/3/1006 concerning Provisions and Procedures for Issuance of Direct Selling Business Licenses and also fulfills the Good Corporate Governance principles, namely: Transparency, Accountability, Responsibility, Independency And Fairness. So, the criteria for MLM products with pyramid schemes are: first, products with low prices but not useful. Secondly, the product is expensive, but not qualified in accordance with regulations and does not meet the principles of Good Corporate Governance. While the legal view in Indonesia about MLM products with pyramid schemes is that this business is strictly against the law and prohibited in Indonesia, because business activities are not obtained from sales goods. However, by utilizing the opportunities for business partners to obtain rewards or income mainly from the costs of participating other people who join later and not from the sale of products, or from the sale of products, the products sold do not have quality that can be accounted for.
PERIZINAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT DALAM PERSPEKTIF PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DAN HAK ASASI MANUSIA
Edmond Leonardo Siahaan
Perizinan pendirian Rumah Ibadat belakangan ini kembali muncul sebagai perdebatan yang panjang, ada pihak yang mendukung dan menolak peraturan yang telah dilahirkan Pemerintah Pusat tersebut. Bagi warga yang menolak, peraturan tersebut dianggap menyulitkan agama atau kelompok tertentu untuk mendapatkan izin mendirikan Rumah Ibadatnya, bahkan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinannya. Sementara untuk yang mendukung peraturan tersebut, kerap menjadikan peraturan tersebut untuk sebagai landasan kebijakan, sikap dan tindakannya. Berbagai organisasi yang berlatarbelakang Hak Asasi Manusia (HAM) mencatat ada kecenderungan peningkatan tindakan dan aksi pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KKB) diberbagai Provinsi dan Kabupaten di Indonesia, dimana didalamnya termasuk pelarangan dan pencabutan izin pendirian Rumah Ibadat.
Konflik dan pertentangan pendirian Rumah Ibadat ini terutama dikarenakan adanya tindakan-tindakan yang diambil oleh pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat misalnya dalam peraturan tersebut tidak mendefinisikan secara tegas apa yang dimaksud dengan Rumah Ibadat. Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Atau Kota juga belakangan dikritik karena terlibat langsung dalam tindakan-tindakan pelarangan Rumah Ibadat, hingga menerbitkan Rencana Peraturan Daerah (Perda) Syariah, Kota Injil Di Manokwari, tidak melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah berkekuatan hukum tetap.
Regulasi-regulasi yang dilahirkan Pemerintah Pusat itu juga turut memicu Pemerintah Daerah melahirkan berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan HAM warga negara. Sementara konsepsi negara hukum adalah perlindungan terhadap HAM yang juga sejalan konsepsi negara demokrasi dengan menganut prinsip equal protection before the law dimana negara dan hukum harus melindungi warga negaranya secara sama. Belakangan ini wacana tentang berbagai regulasi yang dianggap diskriminatif itu mencuat kembali, melahirkan perdebatan apakah diperlukan atau tidak regulasi yang dianggap diskriminatif tersebut.
Seperti yang tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan keyakinannya. Oleh karena itu mutlak diperlukan regulasi yang mengatur umat beragama yang plural untuk menjamin kepastian hukum yang adil atas konflik dan pertentangan yang terjadi atas Rumah Ibadah dapat dicegah sedini mungkin. Seperti yang tercantum pembukaan UUD 45 alenia keempat, yaitu mewujudkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM MENGESAHKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG YANG TELAH DISETUJUI BERSAMA MENJADI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Iin Indriani, Leli Tibaka
Penelitian ini mengangkat tentang Kedudukan Presiden Dalam Mengesahkan Rancangan Undang-Undang Yang Telah Disetujui Bersama Menjadi Undang-Undang Berdasarkan UUD RI 1945. Terkait rapat pembahasan rancangan undang-undang yang dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah (Presiden) terdapat beberapa Rancangan undang-undang yang tidak mendapat pengesahan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri padamasa kepemimpinannya sehingga melahirkan beberapa undang-undang tanpa pengesahan Presiden meskipun rancangan undang-undang itu telah mendapat persetujuan bersama. Hal ini yang melatar belakangi penambahan ayat pada Pasal 20ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi “Dalam hal pengesahan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”. Hal ini menjadi menarik bagi penulis untuk mengkaji dan mencari tahu apa kedudukan Presiden dalam hal mengesahkan serta implikasi hukum terhadap kedudukan Presiden ketika tidak mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang?
Dengan metode penelitian hukum normatif dan pendekatan historis, konseptual serta perundang-undangan penelitian ini berhasil membuktikan bahwa kedudukan Presiden dalam mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang ialah sebagi Kepala Negara. Hal ini merupakan simbol dan tidak terdapat implikasi hukum terhadap kedudukan Presiden ketika tidak mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang berdasarkan pada Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Namun secara etika ketatanegaraan ini mempengaruhi kepercayaan masyarakat dan konsistensi yang sebelumnya telah menyetujui bersama (Presiden dan DPR) tetapi diakhir tidak mengesahkan.