KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM MENGESAHKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG YANG TELAH DISETUJUI BERSAMA MENJADI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Article History
Submited : July 23, 2020
Published : July 23, 2020
Penelitian ini mengangkat tentang Kedudukan Presiden Dalam Mengesahkan Rancangan Undang-Undang Yang Telah Disetujui Bersama Menjadi Undang-Undang Berdasarkan UUD RI 1945. Terkait rapat pembahasan rancangan undang-undang yang dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah (Presiden) terdapat beberapa Rancangan undang-undang yang tidak mendapat pengesahan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada masa kepemimpinannya sehingga melahirkan beberapa undang-undang tanpa pengesahan Presiden meskipun rancangan undang-undang itu telah mendapat persetujuan bersama. Hal ini yang melatar belakangi penambahan ayat pada Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi “Dalam hal pengesahan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”. Hal ini menjadi menarik bagi penulis untuk mengkaji dan mencari tahu apa kedudukan Presiden dalam hal mengesahkan serta implikasi hukum terhadap kedudukan Presiden ketika tidak mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang?
Dengan metode penelitian hukum normatif dan pendekatan historis, konseptual serta perundang-undangan penelitian ini berhasil membuktikan bahwa kedudukan Presiden dalam mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang ialah sebagi Kepala Negara. Hal ini merupakan simbol dan tidak terdapat implikasi hukum terhadap kedudukan Presiden ketika tidak mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang berdasarkan pada Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Namun secara etika ketatanegaraan ini mempengaruhi kepercayaan masyarakat dan konsistensi yang sebelumnya telah menyetujui bersama (Presiden dan DPR) tetapi diakhir tidak mengesahkan.
Fajar Laksono, 2006, UU Tanpa Pengesahan Presiden: Sebuah Problem Legislasi Pasca Perubahan UUD 1945, dalam Jurnal Konstitusi Vol. 3, No. 3 September, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
Fajar Laksono dan Subardjo, Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden, UII Press, Yogyakarta, 2006.
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta 1986.
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, 2014.
Jimly Assidiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan Ayat, Sekretariat Jendral MPR RI, Jakarta, Cetakan Ketiga: Juni 2007.
Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014.
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Suswoto Mulyosudarmo, Perihal Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Bantika, Niklas. “PEMBERIAN GRASI OLEH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.” Legal Opinion : Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 6 (22 Desember 2016). http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/LO/article/view/7318.
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/news/20191018161441-4-108182/uu-kpk-baru-terbit-tanpa-diteken-jokowi-kenapa, (diakses 19 November 2019, Pukul 19:12 Wita).
Ihsanuddin, https:// nasional.kompas.com/read/2018/03/14/17292911/jokowi-saya-pastikan-tidak-menandatangani-uu-md3?page=all (diakses 19 November 2019, Pukul 16:26 Wita).